Opini : Pilkada 2024, Akankah Jargon ”Anak Koltim” Seefektif Di Pilkada 2020 Lalu

Opini, Politik430 Dilihat

Tajukperistiwa.com, Kolaka Timur || Jargon Anak Koitim kembali ramai jadı bahan perbincangan dalam diskusi-diskusi politik. Tagline Anak Koltim menjadi primadona oleh sebagian penggiat politik untuk dijadikan sebagai jualan dan aktif digaungkan oleh beberapa bakal calon.

banner 728x90

Apa sesungguhnya pengertian istilah Anak Koftim tersebut?, dan apakah jualan jargon “Anak Koltim” akan kembali seefektif pada pilkada 2020 kemarin?.

Melalui opini singkat ini saya mencoba membahas hal tersebut, yang tentu saja dalam perspektif subyektifitas pribadi yang memungkinkan munculnya berbagai pro dan kontra.

Tagline Anak Koltim bermula muncul dalam pilkada Koltim 2020 dimana salah satu kandidat pada saat itu mengusung jargon “SBM Anak Koltim” yang pada akhirnya kemudian berhasil memenangkan pilkada dengan spektakuler mengalahkan petahana.

Sebuah prestasi luar biasa sang penantang dalam menumbangkan petahana yang telah berhasil mencengkramkan kuku kekuasaan yang sudah menggurita di birokrasi selama kurang lebih tujuh tahun.

Secara politik, jargon Anak koltim digunakan oleh pasangan SBM dalam Pilkada Koltim 2020 dimaksudkan untuk merangsang sentimen emosi masyarakat agar lebih memiliki kepedulian kepada daerahnya Kolaka Timur, bagaimana menjadikan Kolaka Timur sebagai salah satu DOB di jazirah Provovinsi Sulawesi tenggara dapat lebih maju, rakyatnya sejahtera dan sejajar dengan daerah-daerah lainnya dengan dipimpin oleh Anak Koltim sendiri.

Isu Anak Koltim digaungkan untuk memberikan harapan kepada masyarakat bahwa ketika dipimpin oleh orang local maka pemimpin tersebut dapat lebih memiliki kepedulian terhadap masyarakat dan luar daerahnya.

Isu Anak Kotim mencoba menarik garis pemisah antara anak daerah dengan bukan anak daerah, karena anak daerah akan lebih peduli dibandingkan orang luar. tentu pemikiran tersebut sebenarnya sangat subyektif, dan dapat memicu topik perdebatan yang lebih panjang.

Pada pilkada Koltim 2020, jargon Anak Koltim terbukti efektif secara politis dimana berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh AGILE PARTNER Research and Consulting , Isu Anak Koltim memberikan kontribusi sekitar 44,9% dalam mempengaruhi preferensi pilihan masyarakat.

Walau- Keberhasilan isu Anak Koltim dalam pilkada Koltim 2020, sebenarnya juga tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yakni, sosok figur H. Samsul Bahri Madjid dan Hj Andi Merya Nur dinilai sebagai tokoh lokal yang merakyat dan telah membuktikan kontribusi sosialnya ditengah-tengah masyarakat koltim sehingga ada harapan besar ketika terpilih mereka mampu membawa perubahan dan memimpin daerah menjadi lebih baik.

Kedua, ketidakpuasan masyarakat atas kinerja pemerintahan (petahana) dalam pembangunan khususnya menyangkut banyaknya infrastruktur jalan yang rusak dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat.

Dan ketiga, adalah karakter pribadi dan keluarga petahana yang memang sebelumnya bertempat tinggal di daerah lain dinilai cenderung elitis dan sombong, sementara Samsul Bahri yang sebelumnya sebagai pejabat birokrasi dan Andi Merya sebagai wakil Bupati dinilai telah dizalimi oleh calon petahana yang memicu lahirnya simpati secara luas dimasyarakat.

Ketiga faktor diatas menjadi suplemen issue “Anak Koltim” semakin menggaung ditingkat masyarakat bawah, kemudian secara politis, Issue Anak Kotim berhasil membuat garis pemisah antara orang daerah dan orang luar dalam menumbuhkan sentimen solidaritas kedaerahan yang tinggi.

Pengertian istilah Anak Koltim sendiri sebenarnya menjadi sebuah paradox dan diartikan serta ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kepentingan politik masing-masing, baik secara kelompok maupun orang perorang.

Ada yang mengartikan Anak Koltim adalah seluruh penduduk yang bertempat tinggal, memiliki rumah atau telah ber KTP Kotim tanpa memandang apakah dia pendatang atau bukan, ada pula yang mengartikan Anak Kotim adalah mereka yang lahir dan besar di Koltim, dan ada lagi yang mengartikan Anak Koltim adalah penduduk Asli pribumi atau orang tuanya, kakek, nenek adalah pribumi baik yang masih tinggal maupun yang berada di daerah lain. Dan mungkin masih banyak lagi pengertian dari sisi lainnya

Issue Anak Koltim sebenarnya oleh sebagian, dinilal primordial dan tidak relevan dalam konteks demokrasi dan nasionalisme dimana dengan ke-Indonesia-an yang bhineka tunggal Ika (nasionalisme), maka orang Sumatra, orang Jawa, orang Kalimantan, orang Papua -dan banyak lagi suku lainnya- dapat mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah di daerah kita meski KTP-nya bukan Koltim sepanjang dicalonkan dan memenuhi persyaratan yang ada, apa lagi kalau sang calon memang KTP-nya Koltim hanya kebetulan sukunya Jawa, Bali, Bugis, tolaki atau Bali

Sebagai warga negara indonesia semua memiliki hak politik yang sama, politik identitas tidak lagi memiliki tempat dan dinilai sebagai musuh demokrasi. Tapi tidak panjang lebar dan tidak ingin masuk dalam pertentangan Nasionalisme primordialisme

Menurut saya, primordialisme adalah bagian dari kebhinekaan itu sendiri, kebanggan sebagai bangsa Indonesia tidak akan pernah ada ketika tidak bangga sebagai Orang Kolaka Timur.  Berikutnya, apakah jualan jargon “Anak Koltim’ akan sama seefektif pilkada yang lalu pada pilkada Koltim 2024 yang akan datang?

Menjawab ini semua, dibutuhkan survey khusus, karena kondisi sosiol kultural serta perilaku perspektif politk masyarakat bisa jadi jauh berbeda dengan pikada lima tahun sebelumnya, terlebih lagi mengingat pengalaman pahit pemerintahan, meninggalnya Bupati terpilih dan peristiwa OTT terhadap Hj Andi Merya sebagai Bupati pengganti, masih meninggalkan trauma mendalam bagi sebagian masyarakat

Tetapi paling tidak, belajar dari pengalaman pilkada sebelumnya dan pilkada-pilkada daerah lain khususnya di Sulawesi Tenggara, Jualan issue anak daerah – luar daerah masih akan jadi issue primadona dalam politik

Berdasarkan pengalaman pilkada sebelumnya dan perilaku politk yang diamati, di Koltim sendiri, mohon maaf tidak bermaksud rasis, penentuan calon kepala daerah akan banyak mempertimbangkan dua suku mayoritas yang mendiami daerah ini yakni Tolaki – Bugis,

kalau calon Bupatinya suku Tolaki bisa jadi calon Wakilnya berasal dari Suku Bugis, begitupun sebaliknya kalau calon Bupatinya Bugis maka calon Wakil Bupatinya suku Tolaki.  

Begitupula dari kewilayahan, Koltim dikotomi Utara-Selatan, dimana wilayah kewilayahan tersebut meliputi  Ladongi, poli-polia, Dangia, Aere dan Lambandia, sementara wilayah yang meliputi, Loea, Tirawuta, Lalolae, Mowewe, Tinondo, Uluiwoi dan Ueesi, bisa jadi pasangan calon akan dipersonifikasikan perwakilan dari kedua wilayah tersebut

Realitas politik seperti ini tentu bukan sesuatu yang salah, bahkan dalam politk nasional untuk memilih presiden misalnya juga terjadi, istilah Jawa – luar, sipil-militer, atau nasionalis – religius, selalu menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pasangan calon, disamping itu juga tentu track record dan modal social calon.

Menghindari issue-issue primordial dalam kontestasi pemilihan menurut saya adalah hal yang niscaya, namun demikian memenangkan pilkada juga bukan sekedar bagaimana menjual Issue, issue hanyalah salah satu variabel dalam mempengaruhi persepsi pilihan, tetapi yang lebih penting adalah merancang sebuah strategi pemenangan yang komprehensif dan dijalankan secara langsung di lapangan oleh team work yang memiliki miliítansi tinggi.

Yang pasti, pemilu dan pilkada adalah pesta rakyat, yang kesemuanya bermuara untuk kesejahteraan rakyat. Kontestasi politik yang seringkali memicu kerawanan sosial ditengah-tengah masyarakat perlu disikapi dengan bijak.

Olehnya itu, dibutuhkan kedewasaan dalam berpolitik, sehingga didalam politik seringkali dikatakan bahwa tak ada kawan yang sejati dan tak ada lawan yang abadi juga ada benarnya, karena itulah real politik yang selama ini kita saksikan, berbeda adalah hal yang biasa, tetapi persaudaraan harus tetap kita jaga. Insya Allah Koltim akan semakin maju.

Hayo.. Menurut anda petahana atau penantang ?

Penulis : Asri Alam Andi baso

Laporan : Redaksi